Nama : Melisa rosalia
Npm : 14211423
Kelas : 2EA03
PERKEMBANGAN KOPERASI
DI INDONESIA
Awal Pertumbuhan Koperasi Indonesia
Pertumbuhan koperasi di Indonesia dimulai sejak tahun 1896 (Ahmed1964, h. 57)
yang selanjutnya berkembang dari waktu ke waktu sampai sekarang. Perkembangan
koperasi di Indonesia mengalami pasang naik dan turun dengan titik berat
lingkup kegiatan usaha secara menyeluruh yang
berbeda-beda dari waktu ke waktu sesuai dengan iklim lingkungannya.Jikalau
pertumbuhan koperasi yang pertama di Indonesia
menekankan pada kegiatan simpan-pinjam (Soedjono 1983, h.7) maka selanjutnya
tumbuh pula koperasi yang menekankan pada kegiatan penyediaan barang-barang
konsumsi dan dan kemudian koperasi yang menekankan pada kegiatan penyediaan
barang-barang untuk keperluan produksi. Perkembangan koperasi dari berbagai
jenis kegiatan usaha tersebut selanjutnya ada kecenderungan menuju kepada suatu
bentuk koperasi yang memiliki beberapa jenis kegiatan usaha. Koperasi serba
usaha ini mengambil langkah-langkah kegiatan usaha yang paling mudah mereka
kerjakan terlebih dulu, seperti kegiatan penyediaan barang-barang keperluan
produksi
bersama-sama dengan kegiatan simpan-pinjam ataupun kegiatan penyediaan
barang-barang keperluan konsumsi bersama-sama dengan kegiatan simpan-pinjam dan
sebagainya (Masngudi 1989, h. 1-2). Pertumbuhan koperasi di Indonesia
dipelopori oleh R. Aria Wiriatmadja patih di Purwokerto (1896), mendirikan
koperasi yang bergerak dibidang simpanpinjam. Untuk memodali koperasi simpan-
pinjam tersebut di samping banyak menggunakan uangnya sendiri, beliau juga
menggunakan kas mesjid
yang dipegangnya (Djojohadikoesoemo, 1940, h 9). Setelah beliau mengetahui
bahwa hal tersebut tidak boleh, maka uang kas mesjid telah dikembalikan secara
utuh pada posisi yang sebenarnya. Kegiatan R Aria Wiriatmadja dikembangkan
lebih lanjut oleh De Wolf Van Westerrode asisten Residen Wilayah Purwokerto di
Banyumas. Ketika ia cuti ke Eropa dipelajarinya cara kerja wolksbank secara
Raiffeisen
(koperasi simpan-pinjam untuk kaum tani) dan Schulze-Delitzsch (koperasi simpan-pinjam
untuk kaum buruh di kota) di Jerman. Setelah ia kembali dari cuti melailah ia
mengembangkan koperasi simpan-pinjam sebagaimana telah dirintis oleh R. Aria
Wiriatmadja . Dalam hubungan ini kegiatan simpan pinjam
yang dapat berkembang ialah model koperasi simpan-pinjam lumbung dan modal
untuk itu diambil dari zakat. Selanjutnya Boedi Oetomo yang didirikan pada
tahun 1908 menganjurkan berdirinya koperasi untuk keperluan rumah tangga.
Demikian pula Sarikat Islam yang didirikan tahun 1911 juga mengembangkan
koperasi yang bergerak di bidang keperluan sehari-hari dengan cara membuka toko
toko koperasi. Perkembangan yang pesat dibidang perkoperasian di Indonesia yang
menyatu dengan kekuatan social dan politik menimbulkan kecurigaan Pemerintah
Hindia Belanda. Oleh karenanya Pemerintah Hindia Belanda ingin mengaturnya
tetapi dalam kenyataan lebih cenderung menjadi
suatu penghalang atau penghambat perkembangan koperasi. Dalam hubungan ini pada
tahun 1915 diterbitkan Ketetapan Raja no. 431 yang berisi
antara lain :
a. Akte pendirian koperasi dibuat secara notariil;
b. Akte pendirian harus dibuat dalam Bahasa Belanda;
c. Harus mendapat ijin dari Gubernur Jenderal;
dan di samping itu diperlukan biaya meterai f 50. Pada akhir Rajab 1336H atau
1918 K.H. Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang mendirikan koperasi yang dinamakan “Syirkatul
Inan” atau disingkat (SKN) yang beranggotakan 45 orang. Ketua dan sekaligus
sebagai manager adalah K.H. Hasyim Asy ‘ari. Sekretaris I dan II adalah K.H. Bishri
dan Haji Manshur. Sedangkan bendahara Syeikh Abdul WAhab Tambakberas di
mana branndkas dilengkapi dengan 5 macam kunci yang dipegang oleh 5 anggota.
Mereka bertekad, dengan kelahiran koperasi ini unntuk dijadikan periode
“nahdlatuttijar” . Proses permohonan badan hukum direncanakan akan diajukan
setelah antara 2 sampai dengan 3 tahun berdiri. Berbagai ketentuan dan persyaratan
sebagaimana dalam ketetapan Raja no 431/1915 tersebut dirasakan sangat
memberatkan persyaratan berdiriya koperasi. Dengan demikian praktis peraturan
tersebut dapat dipandang sebagai suatu penghalang bagi pertumbuhan koperasi di Indonesia,
yang mengundang berbagai reaksi. Oleh karenanya maka pada tahun 1920 dibentuk
suatu ‘Komisi Koperasi’ yang dipimpin oleh DR. J.H. Boeke yang diberi tugas
neneliti sampai sejauh mana keperluan penduduk Bumi Putera untuk berkoperasi. Hasil
dari penelitian menyatakan tentang perlunya penduduk Bumi putera berkoperasi
dan untuk mendorong keperluan rakyat yang bersangkutan. Selanjutnya
didirikanlah Bank Rakyat (Volkscredit Wezen ). Berkaitan dengan masalah
Peraturan Perkoperasian, maka pada tahun 1927 di Surabaya didirikan
“Indonsische Studieclub” Oleh dokter Soetomo yang juga pendiri Boedi Oetomo,
dan melalui organisasi tersebut beliau menganjurkan berdirinya koperasi. Kegiatan
serupa juga dilakukan oleh Partai Nasional Indonesia di bawah pimpimnan Ir.
Soekarno, di mana pada tahun 1929 menyelenggarakan kongres koperasi di Betawi.
Keputusan kongres koperasi tersebt menyatakan bahwa untuk meningkatkan kemakmuran
penduduk Bumi Putera harus didirikan berbagai macam koperasi di seluruh Pulau
Jawa khususnya dan di Indonesia pada umumnya. Untuk menggiatkan pertumbuhan koperasi,
pada akhir tahun 1930 didirikan Jawatan Koperasi dengan tugas:
a. memberikan penerangan kepada pengusaha-pengusaha Indonesia
mengenai seluk beluk perdagangan;
b. dalam rangka peraturan koerasi No 91, melakukan pengawasan dan
pemeriksaan terhadap koperasi-koperasi, serta memberikan
penerangannya;
c. memberikan keterangan-keterangan tentang perdagangan
pengangkutan, cara-cara perkreditan dan hal ihwal lainnya yang
menyangkut perusahaan-perusahaan;
d. penerangan tentang organisasi perusahaan;
e. menyiapkan tindakan-tindakan hukum bagi pengusaha Indonesia
( Raka.1981,h.42)
DR. J.H. Boeke yang dulunya memimpin “Komisi Koperasi” 1920 ditunjuk sebagai
Kepala Jawatan Koperasi yang pertama. Selanjutnya pada tahun 1933 diterbitkan
Peraturan Perkoperasian dalam berntuk Gouvernmentsbesluit no.21 yang termuat di
dalam Staatsblad no. 108/1933 yang menggantikan Koninklijke Besluit no. 431
tahun 1915. Peraturan Perkoperasian 1933 ini diperuntukkan bagi orang-orang
Eropa dan golongan Timur Asing. Dengan demikian di Indonesia pada waktu itu berlaku
2 Peraturan Perkopersian, yakni
Peraturan Perkoperasian tahun 1927 yang diperuntukan bagi golongan Bumi Putera
dan Peraturan.Perkoperasian tahun 1933 yang berlaku bagi golongan Eropa dan
Timur
Asing. Kongres Muhamadiyah pada tahun 1935 dan 1938 memutuskan tekadnya untuk
mengembangkan koperasi di seluruh wilayah Indonesia, terutama di lingkungan
warganya. Diharapkan para warga Muhammadiyah dapat memelopori dan bersama-sama
anggota masyarakat yang lain untuk mendirikan dan mengembangkan koperasi.
Berbagai koperasi dibidang produksi mulai tumbuh dan berkembang antara lain
koperasi batik yang diperlopori oleh H. Zarkasi, H. Samanhudi dan K.H. Idris. Perkembangan
koperasi semenjak berdirinya Jawatan Koperasi tahun1930 menunjukkan suatu
tingkat perkembangan yang terus
meningkat.Jikalau pada tahun 1930 jumlah koperasi 39 buah, maka pada tahun 1939
jumlahnya menjadi 574 buah dengan jumlah anggota pada tahun 1930 sebanyak 7.848
orang kemudian berkembang menjadi 52.555 orang. Sedang kegiatannya dari 574
koperasi tersebut diantaranya 423 kopersi (=77%) adalah koperasi yang bergerak
dibidang simpan-pinjam (Djojohadikoesoemo,1940 h.82) sedangkan selebihnya
adalah kopersi jenis konsumsi ataupun produksi. Dari 423 koperasi simpan-pinjam
tersebut diantaranya 19 buah adalah koperasi lumbung.
Residen (Shuchokan) dengan menjelaskan syarat-syarat sebagai berikut :
a. Maksud perkumpulan atau persidangan, baik sifat maupun aturanaturannya
b. Tempat dan tanggal perkumpulan didirikan atau persidangan
diadakan
c. Nama orang yang bertangguing jawab, kepengurusan dan anggotaanggotanya
d. Sumpah bahwa perkumpulan atau persidangan yang bersangkutan
itu sekali-kali bukan pergerakan politik.
Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka di beberapa daerah banyak koperasi
lama yang harus menghentikan usahanya dan tidak boleh bekerja lagi sebelum
mendapat izin baru dari”Scuchokan”. Undang-undang ini pada hakekatnya bermaksud
mengawasi perkumpulan-perkumpulan dari
segi kepolisian (Team UGM 1984, h. 139 – 140).Perkembangan Pemerintahan
pendudukan bala tentara Jepang dikarenakan masalah ekonomi yang semakin sulit
memerlukan peran “Kumiai” (koperasi). Pemerintah pada waktu itu melalui
kebijaksanaan dari atas menganjurkan berdirinya “Kumiai” di desa-desa yang
tujuannya untuk melakukan kegiatan distribusi barang yang jumlahnya semakin
hari semakin kurang karena situasi perang dan tekanan ekonomi Internasional
(misalnya gula pasir, minyak tanah, beras, rokok dan sebagainya). Di lain pihak
Pemerintah pendudukan bala tentara Jepang memerlukan barang-barang yang dinilai
penting untuk dikirim ke Jepang (misalnya biji jarak, hasil-hasil
bumi yang lain, besi tua dan sebagainya) yang untuk itu masyarakat agar menyetorkannya
melalui “Kumiai”. Kumiai (koperasi) dijadikan alat kebijaksanaan dari
Pemerintah bala tentara Jepang sejalan dengan kepentingannya. Peranan koperasi
sebagaimana dilaksanakan pada zaman Pemerintahan pendudukan bala tentara Jepang
tersebut sangat merugikan bagi para anggota dan masyarakat pada umumnya.
Gerakan koperasi di Indonesia yang lahir pada akhir abad 19 dalam suasana
sebagai Negara jajahan tidak memiliki suatu iklim yang menguntungkan bagi
pertumbuhannya. Baru kemudian setelah Indonesia
memproklamasikan kemerdekaannya, dengan tegas perkoperasian ditulis didalam UUD
1945. DR. H. Moh Hatta sebagai salah seorang “Founding Father” Republik
Indonesia, berusaha memasukkan rumusan perkoperasian di dalam “konstitusi”.
Sejak kemerdekaan itu pula koperasi di Indonesia
mengalami suatu perkembangan yang lebih baik. Pasal 33 UUD 1945 ayat 1 beserta
penjelasannya menyatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan azas kekeluargaan. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa bangun
perekonomian yang sesuai dengan azas kekeluargaan tersebut adalah koperasi. Di
dalam pasal 33 UUd 1945 tersebut diatur pula di samping koperasi, juga peranan
daripada Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Swasta. Pada akhir
1946, Jawatan Koperasi mengadakan pendaftaran koperasi dan tercatat sebanyak
2500 buah koperasi di seluruh Indonesia. Pemerintah Republik Indonesia bertindak
aktif dalam pengembangan perkoperasian. Disamping menganjurkan berdirinya
berbagai jenis koperasi Pemerintah RI berusaha memperluas dan menyebarkan
pengetahuantentang dengan jalan mengadakan kursus-kursus koperasi di berbagai
tempat. Pada tanggal 12 Juli 1947 diselenggarakan kongres koperasi se Jawa yang
pertama di Tasikmalaya. Dalam kongres tersebut diputuskan antara lain terbentuknya
Sentral Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia yang disingkat SOKRI; menjadikan
tanggal 12 Juli sebagai Hari Koperasi serta
menganjurkan diselenggarakan pendidikan koperasi di kalangan pengurus, pegawai dan
masyarakat. Selanjutnya, koperasi pertumbuhannya semakin pesat. Tetapi dengan
terjadinya agresi I dan agresi II dari pihak Belanda terhadap Republik
Indonesia serta pemberontakan PKI di Madiunpada tahun
1948 banyak merugikan terhadap gerakan koperasi. Pada tahun 1949 diterbitkan
Peraturan Perkoperasian yang dimuat di dalam Staatsblad No. 179. Peraturan ini
dikeluarkan pada waktu Pemerintah Federal Belanda menguasai sebagian wilayah
Indonesia yang isinya hamper sama dengan Peraturan Koperasi yang dimuat di
dalam Staatsblad No. 91 tahun 1927, dimana ketentuan-ketentuannya sudah kurang
sesuai dengan keadaan Inidonesia sehingga tidak memberikan dampak yang berarti
bagi perkembangan koperasi. Setelah terbentuknya Negara Kesatuan Republik
Indonesia tahun
1950 program Pemerintah semakin nyata keinginannya untuk mengembangkan
perkoperasian.Kabinet Mohammad Natsir menjelaskan di muka Dewan Perwakilan
Rakyat yang berkaitan dengan program perekonomian antara lain sebagai berikut :
………………….. “Menggiatkan pembangunan organisasi-organisasi
rakyat , istimewa koperasi dengan cara pendidikan, penerangan, pemberian
kredit yang lebih banyak dan lebih mudah, satu dan lain seimbang dengan
kemampuan keuangan Negara”. Untuk memperbaiki perekonomian-perekonomian rakyat
Kabinet Wilopo antara lain mengajukan suatu “program koperasi” yang terdiri
dari tiga
bagian, yaitu :
a. Usaha untuk menciptakan suasana dan keadaan sebaik-baiknya bagi
perkembangan gerakan koperasi;
b. Usaha lanjutan dari perkembangan gerakan koperasi;
c. Usaha yang mengurus perusahaan rakyat yang dapat diselenggarakan
atas dasar koperasi.
Selanjutnya Kabinet Ali Sastroamidjodjo menjelaskan program
Pemerintahannya sebagai berikut :
Untuk kepentingan pembangunan dalam lapangan perekonomian rakyat perlu pula
diperluas dan dipergiat gerakan koperasi yang harus disesuaikan dengan semangat
gotong royong yang spesifik di Indonesia dan besar artinya dalam usaha
menggerakkan rasa percaya pada diri sendiri di kalangan rakyat. Di samping itu
Pemerintah hendak menyokong usaha itu dengan memperbaiki dan memperlluas
perkreditan, yang terpenting antara lain dengan pemberian modal kepada badan-badan
perkreditan desa seperti Lumbung dan Bank Desa, yang sedapat-dapatnya disusun
dalam bentuk koperasi” (Sumodiwirjo 1954, h. 45-46).Sejalan dengan
kebijaksanaan Pemerintah sebagaimana tersebut di atas, koperasi makin
berkembang dari tahun ketahun baik organisasi maupun
usahanya.Selanjutnya pada tanggal 15 sampai dengan 17 Juli 1953 dilangsungkan
kongres koperasi Indonesia yang ke II di Bandung. Keputusannya antara lain
merubah Sentral Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia (SOKRI) menjadi Dewan
Koperasi Indonesia (DKI). Di samping itu mewajibkan DKI membentuk Lembaga Pendidikan
Koperasi dan mendirikan Sekolah Menengah Koperasi di Provinsi-provinsi.
Keputusan yang lain ialah penyampaian saran-saran kepada Pemerintah untuk
segera diterbitkannya Undang-Undang Koperasi yang baru serta mengangkat Bung
Hatta sebagai Bapak Koperasi Indonesia. Pada tahun 1956 tanggal 1 sampai 5
September diselenggarakan Kongres Koperasi yang ke III di Jakarta. Keputusan
KOngres di samping halhal yang berkaitan dengan kehidupan perkoperasian di
Indonesia, juga mengenai hubungan Dewan Koperasi Indonesia dengan International
Cooperative Alliance (ICA).
Pada tahun 1958 diterbitkan Undang-Undang tentang Perkumpulan Koperasi No. 79
Tahun 1958 yang dimuat di dalam Tambahan Lembar Negara RI No. 1669.
Undang-Undang ini disusun dalam suasana Undang-Undang Dasar Sementara 1950 dan
mulai berlaku pada tanggal 27 Oktober 1958. Isinya lebih biak dan lebih lengkap
jika dibandingkan dengan peraturan-peraturan koperasi sebelumnya dan merupakan
Undang-Undang yang pertama tentang perkoperasian yang disusun oleh Bangsa
Indonesia sendiri dalam suasana kemerdekaan. Perlu dipahami bersama perbedaan
sikap Pemerintah terhadap pengembangan perkoperasian atas dasar perkembangan
sejarah pertumbuhannya di Indonesia dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Pemerintahan Kolonial Belanda bersikap pasif;
b. Pemerintahan Pendudukan Balatentara Jepang bersikap aktif
negatif, karena akibat
kebijaksanaannya nama koperasi menjadi
hancur (jelek);
c. Bersikap aktif positif di mana Pemerintah Republik Indonesia
memberikan dorongan kesempatan dan
kemudahan bagi koperasi.
Kemudian setelah kemerdekaan diperbaharui dan diberikan kedudukan yang sangat
tinggi dalam penjelasan undang-undang dasar. Dan atas dasar itulah kemudian
melahirkan berbagai penafsiran bagaimana harus mengembangkan koperasi. Paling
tidak dengan dasar yang kuat tersebut sejarah perkembangan koperasi di
Indonesia telah mencatat tiga pola pengembangan koperasi.
• Cara penyelesaian : Sekiranya para petinggi di daerah setempat bisa memberi
penyuluhan kepada masyarakat mengenai cara bernasabah di koperasi yang sehat
agar mereka tau dan terhindar dari penipuan ataupun kerugian dari iming-imingan
keuntungan yang menggiurkan seperti dalam contoh kasus ini . Karena kita tau
tentunya sangat tidak masuk akal bahwa produk investasi KKM bisa menawarkan
keuntungan yang begitu tinggi (150% per tiga bulan alias 600% per tahun). Perlu
diingat, return 150% hanya untuk nasabah saja, belum termasuk biaya operasional
dan margin bagi KKM. Artinya, KKM harus menginvestasikan modal nasabah dengan
return di atas angka 150% tersebut dalam waktu tiga bulan, agar skema capital
investment tidak ambruk. Ini tentunya boleh dikatakan mustahil bisa bertahan
lama. Dan bagi para pengurus KKM, polisi harus menindak lanjuti kasus ini
karena pengurus KKM selain di curigai dalam masalah penipuan, serta sudah
menyalahi aturan dalam mendirikan koperasi dengan tidak adanya ijin dari Bank
Indonesia ataupun Bapepam. Dan ini berarti para polisi dan para petinggi yang
terkait, harus bisa mencegah kasus seperti ini lagi di daerah yang mayoritas
penduduknya masih awam dan kurangya pendidikan .
Kasus Kospin (Koperasi Simpan Pinjam) di Kabupaten Pinrang, Sulawawesi Selatan
yang menawarkan bunga simpanan fantastis hingga 30% per bulan sampai akhirnya
nasabah dirugikan ratusan milyar rupiah, ternyata belum menjadi pelajaran bagi
masyarakat Indonesia.
Bagi Anda yang belum pernah tahu Kabupaten KarangAsem, belakangan ini akan
semakin sering mendengar nama KarangAsem di media massa. Apa pasalnya, sehingga
nama KarangAsem mencuat? Jawaban paling sahih, mencuatnya nama KarangAsem
akibat adanya kasus investasi Koperasi KarangAsem Membangun.
Kabupaten KarangAsem adalah salah satu kabupaten di Provinsi Bali. Kabupaten
ini masih tergolong kabupaten tertinggal dengan tingkat pendidikan masyarakat
yang rendah dan kondisi perekonomian daerah yang relatif ‘morat-marit’. Data
dari Pemda Karangasem menyebutkan pendapatan per kapita masyarakat hanya
sekitar Rp 6 juta per tahun.
Pada tahun 2006 lalu, di kabupaten ini lahirlah sebuah koperasi dengan nama
Koperasi KarangAsem Membangun (KKM). KKM ini dalam operasinya mengusung
beberapa nama ‘besar’ di daerah tersebut. Pengurus KKM, misalnya, diketuai oleh
Direktur Utama PDAM Karangasem, I Gede Putu Kertia, sehingga banyak anggota
masyarakat yang tidak meragukan kredibilitas koperasi tersebut. Dengan bekal
kredibilitas tersebut, KKM tersebut mampu menarik nasabah dari golongan pejabat
dan masyarakat berpendidikan tinggi.
KKM sebenarnya bergerak pada beberapa bidang usaha, antara lain simpan pinjam,
toko dan capital investment (bisa dilihat di website KKM di
http://www.kkm.balipromotion.net/). Salah satu layanan KKM yang menjadi
‘primadona’ adalah Capital Investment (Investasi Modal). Layanan Capital
Investment yang dikelola oleh KKM menjanjikan tingkat pengembalian investasi
sebesar 150% setelah tiga bulan menanamkan modal. Dengan kondisi sosial dimana
mayoritas masyarakat tergolong ekonomi kurang mampu dan juga pendidikan yang
relatif rendah, iming-iming keuntungan sebesar itu tentunya sangat menggiurkan.
Lucunya, ada juga beberapa anggota DPRD Kabupaten Karangasem yang ikut
‘berinvestasi’ di KKM, bahkan ada yang sampai menanamkan modal sebesar Rp.400
juta.
Konyolnya, walaupun KKM menawarkan produk investasi, koperasi tersebut sama
sekali tidak mengantongi ijin dari Bapepam. Pada kenyataannya, sebenarnya
layanan Investment Capital tersebut adalah penipuan model piramida uang.
Sebagian nasabah yang masuk duluan, memang berhasil mendapatkan kembali uangnya
sekaligus dengan ‘keuntungannya’. Seorang pemodal misalnya, memberikan
testimoni bahwa hanya dengan bermodalkan Rp 500 ribu, dalam waktu 3 bulan ia
mendapatkan hasil Rp.1,5 juta. Dengan iming-iming 150% tersebut, antara
November 2007 hingga 20 Februari 2009, KKM berhasil menjaring 72.000 nasabah
dengan nilai total simpanan Rp.700 milyar.
Secara akal sehat, tentunya sangat tidak masuk akal bahwa produk investasi KKM
bisa menawarkan keuntungan yang begitu tinggi (150% per tiga bulan alias 600%
per tahun). Perlu diingat, return 150% hanya untuk nasabah saja, belum termasuk
biaya operasional dan margin bagi KKM. Artinya, KKM harus menginvestasikan
modal nasabah dengan return di atas angka 150% tersebut dalam waktu tiga bulan,
agar skema capital investment tidak ambruk. Ini tentunya boleh dikatakan
mustahil bisa bertahan lama.
Beruntung Bupati Karangasem, I Wayan Geredeg cepat bertindak, dengan meminta
kepolisian segera menutup bisnis investasi ala KKM tersebut. Hasil penyitaan
asset, hanya berhasil menyita asset senilai Rp.321 milyar atau hanya separuh
dari simpanan total nasabah Rp.700 milyar. Lebih dari Rp.400 milyar uang
nasabah tidak dapat dipertanggungjawabkan. Sayangnya, tindakan Bupati
Karangasem, justru ditentang oleh para nasabah. Ironis sekali, mereka tidak
merasa tertipu dan menganggap Bupati Karangasem melakukan fitnah sehingga
pengurus KKM ditangkap polisi. Nasabah malah meminta pengurus KKM dibebaskan,
agar dana mereka yang telah disetorkan dapat dikembalikan.
Perilaku nasabah KKM, bisa dikatakan mirip-mirip dengan member InterMetro Fund
dan Bisnis5Milyar.com yang pernah diangkat di blog JanganSerakah ini. Mereka
tidak mau mempelajari skema investasi yang dijanjikan dan hanya terfokus pada
return yang menarik. Nasabah KKM juga mengabaikan fakta bahwa skema capital
investment ala KKM tidak mendapatkan ijin, baik dari Bank Indonesia atau Bapepam.
Tuntutan nasabah KKM agar Pemerintah mengganti uang yang dsetorkan ke KKM juga
sulit untuk direalisasikan, karena investasi murni keputusan nasabah dan
kondisi fiskal pemerintah tidak memungkinkan bailout.
Dengan latar belakang pendidikan rendah, mungkin nasabah KKM tidak mengenal
nama Ponzi atau Madoff, tapi paling tidak seharusnya mereka bisa menggunakan
akal sehat agar investasi tersebut tidak hilang sia-sia. Penegakan hukum oleh
kepolisian dan Bupati Karangasem mungkin agak terlambat, tapi hal itu harus
dilakukan agar tidak semakin banyak calon-calon nasabah yang dirugikan. Kasus
Koperasi ini meskipun merupakan sebuah pengalaman pahit, namun bisa menjadi
pelajaran berharga bagi seluruh masyarakat dan pemerintah!
Pada masa pendudukan bala tentara Jepang istilah koperasi
lebih dikenal menjadi istilah “Kumiai”. Pemerintahan bala tentara Jepang di di Indonesia
menetapkan bahwa semua Badan-badan Pemerintahan dan kekuasaan hukum serta
Undang-undang dari Pemerintah yang terdahulu tetap diakui sementara waktu, asal
saja tidak bertentangandengan Peraturan Pemerintah Militer. Berdasarkan atas
ketentuan tersebut, maka Peraturan Perkoperasian tahun 1927 masih tetap berlaku.
Akan tetapi berdasarkan Undang-undang No. 23 dari Pemerintahan bala tentara
Jepang di Indonesia mengatur tentang pendirian perkumpulan dan penmyelenggaraan
persidangan. Sebagai akibat daripada peraturan tersebut , maka jikalau masyarat
ingin mendirikan suatu perkumpulan koperasi harus mendapat izin
PERTUMBUHAN KOPERASI
PADA MASA ORDE LAMA
Tabel berikut menunjukkan perkembangan koperasi pada
saat-saat akhir Pemerintahan Kolonial Belanda dan angka perkembangan koperasi setelah Indonesia merdeka sampai dengan
tahun 1959, dengan catatan angka-angka perkembangan koperasi pada zaman
Pemerintahan Pendudukan Balatentara Jepang tidak tersedia.
PERKEMBANGAN KOPERASI PADA MASA ORDE BARU
Pada tanggal 18 Desember 1967 telah dilahirkan Undang-Undang
Koperasi yang baru yakni dikenal dengan UU No. 12/1967 tentang Pokok-pokok
Perkopersian:
Bahwa Undang-Undang No. 14 Tahun 1965 tentang Perkoperasian
mengandung pikiran-pikiran yang nyata-nyata hendak : menempatkan fungsi dan
peranan koperasi sebagai abdi langsung daripada politik. Sehingga mengabaikan
koperasi sebagai wadah perjuangan ekonomi rakyat.Menyelewengkan
landasan-landasan, azas-azas dan sendi-sendi dasar koperasi dari kemurniannya.Bahwa
berhubung dengan itu perlu dibentuk Undang-Undang baru yang sesuai dengan
semangat dan jiwa Orde Baru sebagaimana dituangkan dalam Ketepatan-ketepatan
MPRS Sidang ke IV dan Sidang Istimewa .Bahwa koperasi bersama-sama dengan
sector ekonomi Negara dan swasta bergerak di segala sektor ekonomi Negara dan
swasta bergerak di segala kegiatan dan kehidupan ekonomi bangsa.Bahwa
berhubungan dengan itu, maka Undang-Undang No. 14 tahun 1965 perlu dicabut dan
perlu mencerminkan jiwa, serta cita-cita yang terkandung dalam jelas
menyatakan, bahwa perekonomian Indonesia disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan atas azas kekeluargaan dan koperasi. Berdasarkan pada ketentuan itu
dan untuk mencapai cita-cita tersebut Pemerintah mempunyai kewajiban membimbing
dan membina perkoperasian Indonesia dengan sikap “ ing ngarsa sung tulada, ing
madya mbangun karsa, tut wuri handayani “.Dengan berlakunya UU No. 12/1967
koperasi-koperasi yang telah berdiri harus melaksanakan penyesuaian dengan cara
menyelenggarakan Anggaran dan mengesahkan Anggaran Dasar yang sesuai dengan Undang-Undang
tersebut. Dari 65.000 buah koperasi yang telah berdiri ternyata yang memenuhi
syarat sekitar 15.000 buah koperasi saja.Untuk mengatasi kelemahan organisasi
dan memajukan manajemen koperasi maka sejak tahun1972 dikembangkan penggabungan
koperasikoperasi kecil menjadi koperasi-koperasi yang besar. Daerah-daerah di
pedesaan dibagi dalam wilayah-wilayah Unit Desa (WILUD) dan koperasikoperasi
yang yang ada dalam wilayah unit desa tersebut digabungkan menjadi organisasi
yang besar dan dinamakan Badan Usaha Unit Desa (BUUD). Pada akhirnya
koperasi-koperasi desa yang bergabung itu dibubarkan, selanjutnya BUUD
menjelmas menjadi KUD (Koperasi Unit Desa). Ketentuan-ketentuan yang mengatur
tentang Wilayah Unit Desa, BUUD/KUD dituangkan dalam Instruksi Presiden
No.4/1973 yang selanjutnya diperbaharui menjadi Instruksi Presiden No.2/1978
dan kemudian disempurnakan menjadi Instruksi Presiden No.4/1984.
Dalam kenyataannya meskipun arus sumber-sumber daya pembangunan
yang dicurahkan untuk mengatasi kemiskinan, khususnya di daerah-daerah
pedesaan, belum pernah sebesar seperti dalam era pembangunan selama ini, namun
kita sadarai sepenuhnya bahwa gejala kemiskinan dalam bentuk yang lama maupun
yang baru masih dirasakan sebagai masalah mendasar dalam pembangunan nasional.
Keadaan yang telah berlangsung lama tersebut membuat masyarakat yang tergolong
miskin dan lemah ekonominya belum pernah mampu untuk ikut memanfaatkan secara
optimal berbagai sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia.
Pemerintah di dalam mendorong perkoperasian telah menerbitkan
sejumlah kebijaksanaan-kebijaksanaan baik yang menyangkut di dalam pengembangan
di bidang kelembagaan, di bidang usaha, di bidang pembiayaan dan jaminan kredit
koperasi serta kebijaksanaan di dalam rangka penelitian dan pengembangan
perkoperasian. Sebagai gambaran perkembangan koperasi setelah masa Orde Baru dapat
diikuti pada table berikut
PERKEMBANGAN KOPERASI DI NEGARA BERKEMBANG (INDONESIA)
Sejak pemerintahan Belanda telah
mulai diperkenalakan koperasi, Pelopor dari koperasi itu sendiri adalah Drs.
Moehammad Hatta atau Bung Hatta sang Proklamator Kemerdekaan Koperasi
Indonesia. Gerakan koperasi sendiri mendeklarasikan sebagai suatu gerakan sudah
dimulai sejak tanggal 12 Juli 1947 melalui Kongres Koperasi di Tasikmalaya.
Ciri utama perkembangan koperasi
di Indonesia adalah dengan pola penitipan kepada program yaitu :
Program pembangunan secara
sektoral seperti koperasi pertanian, koperasi desa, KUD
Lembaga-lembaga pemerintah dalam
koperasi pegawai negeri dan koperasi fungsional lainnya; dan
Perusahaan baik milik negara
maupun swasta dalam koperasi karyawan. Sebagai akibatnya prakarsa masyarakat
luas kurang berkembang dan kalau ada tidak diberikan tempat semestinya.
Selama ini “koperasi”
dikembangkan dengan dukungan pemerintah dengan basis sektor-sektor primer dan
distribusi yang memberikan lapangan kerja terbesar bagi penduduk Indonesia.
Sebagai contoh sebagian besar KUD sebagai koperasi program di sektor pertanian
didukung dengan program pembangunan untuk membangun KUD. Disisi lain pemerintah
memanfaatkan KUD untuk mendukung program pembangunan pertanian untuk swasembada
beras seperti yang selama PJP I, menjadi ciri yang menonjol dalam politik
pembangunan koperasi. Bahkan koperasi secara eksplisit ditugasi melanjutkan
program yang kurang berhasil ditangani langsung oleh pemerintah bahkan bank
pemerintah, seperti penyaluran kredit BIMAS menjadi KUT, pola pengadaan beras
pemerintah, TRI dan lain-lain sampai pada penciptaan monopoli baru (cengkeh).
Sehingga nasib koperasi harus memikul beban kegagalan program, sementara
koperasi yang berswadaya praktis tersisihkan dari perhatian berbagai kalangan
termasuk para peneliti dan media masa. Dalam pandangan pengamatan internasional
Indonesia mengikuti lazimnya pemerintah di Asia yang melibatkan koperasi secara
terbatas seperti disektor pertanian.
KASUS KOPERASI
Kasus 1
Polisi Harus Tetap Sidik Kasus Koperasi Langit Biru
Maraknya kasus penipuan berkedok
koperasi, seperti kasus Koperasi Langit Biru dan Koperasi Al Amanah di Cianjur
beberapa bulan terakhir, membuat Menteri Koperasi dan UKM Syarifudin Hasan
gerah. Dia mengimbau masyarakat waspada dan cermat. Terlebih jika lembaga atau
koperasi menjanjikan hal yang muluk-muluk.
Baginya, indikator bisnis paling
ideal tetap bunga bank resmi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia yang saat ini
sebesar 5,75 persen. Jika ada tawaran bunga atau keuntungan di atas aturan yang
ada, ada indikasi pidana.
"Tolong disampaikan kepada
masyarakat kalau ada lembaga koperasi apapun yang menjanjikan returnnya
(pengembalian modal) di atas BI rate, itu pasti penipuan," ujarnya usai
menghadiri Pameran Gelar Karya Pemberdayaan Masyarakat (GKPM) di Hall B,
Jakarta Convention Center, Kamis (27/9).
Kasus Koperasi Langit Biru atau
Koperasi Al Amanah yang kini berurusan dengan polisi lantaran dianggap menipu,
skema bisnis yang ditawarkan memang menggiurkan bagi orang awam. Pada paket
investasi Al-Amanah, Kabupaten Cianjur misalnya, investor bisa menyetorkan
modal sekitar Rp 1-5 juta dan dalam bulan depannya, tepat di tanggal jatuh
tempo mendapat keuntungan 100 persen.
Bahkan di paket lainnya, nilai
investasi yang ditawarkan berkisar Rp 5-10 juta dengan nilai keuntungan
mencapai 150 persen. Syarifudin menegaskan, tindak penipuan yang dilakukan
koperasi tersebut, pada akhirnya berimbas mencemarkan usaha koperasi lain.
"Itu koperasi tidak punya
izin dari kita, dari Menteri Keuangan juga tidak dapat jadi begitulah
akhirnya," ujar Syarifudin.
Di sisi lain, Menkop
menyebutkan, pertumbuhan usaha berbentuk koperasi semakin meningkat. Kini
pertumbuhannya mencapai 7-8 persen per tahun. "Saat ini ada 192.450
koperasi di Indonesia, kebanyakan berbentuk usaha simpan pinjam,"
Liputan6.com, Jakarta: Meski pimpinan
Koperasi Langit Biru (KLB) Jaya Komara telah meninggal dunia, namun proses
hukum terhadap kasus penipuan yang membelitnya harus tetap berjalan.
"ini kan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang
(TPPU) sebenarnya. Kasus ini tetap bisa berlanjut, namun hukumannya bukan pada
pemenjaraan tapi mengembalikan uang korban," kata pakar hukum tindak
pidana pencucian uang Yenti Garnasih di Jakarta, Jumat (14/9). Menurutnya,
kasus bisnis investasi bodong yang dijalankan Koperasi Langit Biru (KLB) sangat
mudah untuk diungkap bila polisi menggunakan Undang-Undang TPPU.
"Uang yang diterima dari siapa dan dikemanakan saja
oleh yang melakukan perbuatan melanggar TPPU yaitu penipuan. Polisi harus terus
menyelidiki uang tersebut ke mana saja,," ujar Yenti.
Yenti menambahkan, dalam kasus investasi fiktif KLB bukan
hanya Jaya Komara saja yang dinilai terlibat. Ditengarai, ada pihak-pihak lain
yang membantunya mengeruk dana nasabah mencapai total Rp 6 triliun itu selain
istrinya yang berinisial TI.
Kasus 2
Kasus koperasi
pertama Kasus Kospin (Koperasi Simpan Pinjam) di Kabupaten Pinrang, Sulawawesi
Selatan yang menawarkan bunga simpanan fantastis hingga 30% per bulan sampai
akhirnya nasabah dirugikan ratusan milyar rupiah, ternyata belum menjadi
pelajaran bagi masyarakat Indonesia. Bagi Anda yang belum pernah tahu Kabupaten
KarangAsem, belakangan ini akan semakin sering mendengar nama KarangAsem di media
massa. Apa pasalnya, sehingga nama KarangAsem mencuat? Jawaban paling sahih,
mencuatnya nama KarangAsem akibat adanya kasus investasi Koperasi KarangAsem
Membangun. Kabupaten KarangAsem adalah salah satu kabupaten di Provinsi Bali.
Kabupaten ini masih tergolong kabupaten tertinggal dengan tingkat pendidikan
masyarakat yang rendah dan kondisi perekonomian daerah yang relatif
‘morat-marit’. Data dari Pemda Karangasem menyebutkan pendapatan per kapita
masyarakat hanya sekitar Rp 6 juta per tahun. Pada tahun 2006 lalu, di
kabupaten ini lahirlah sebuah koperasi dengan nama Koperasi KarangAsem
Membangun (KKM). KKM ini dalam operasinya mengusung beberapa nama ‘besar’ di
daerah tersebut. Pengurus KKM, misalnya, diketuai oleh Direktur Utama PDAM
Karangasem, I Gede Putu Kertia, sehingga banyak anggota masyarakat yang tidak
meragukan kredibilitas koperasi tersebut. Dengan bekal kredibilitas tersebut,
KKM tersebut mampu menarik nasabah dari golongan pejabat dan masyarakat
berpendidikan tinggi. KKM sebenarnya bergerak pada beberapa bidang usaha,
antara lain simpanpinjam, toko dan capital investment (bisa dilihat di website
KKM di http://www.kkm.balipromotion.net/). Salah satu layanan KKM yang menjadi
‘primadona’ adalah Capital Investment (Investasi Modal). Layanan Capital
Investment yang dikelola oleh KKM menjanjikan tingkat pengembalian investasi
sebesar 150% setelah tiga bulan menanamkan modal. Dengan kondisi sosial dimana
mayoritas masyarakat tergolong ekonomi kurang mampu dan juga pendidikan yang
relative rendah, iming-iming keuntungan sebesar itu tentunya sangat
menggiurkan. Lucunya, ada juga beberapa anggota DPRD Kabupaten Karangasem yang
ikut ‘berinvestasi’ di KKM, bahkan ada yang sampai menanamkan modal sebesar
Rp.400 juta. Konyolnya, walaupun KKM menawarkan produk investasi, koperasi
tersebut sama sekali tidak mengantongi ijin dari Bapepam. Pada kenyataannya,
sebenarnya layanan Investment Capital tersebut adalah penipuan model piramida
uang. Sebagian nasabah yang masuk duluan, memang berhasil mendapatkan kembali uangnya
sekaligus dengan ‘keuntungannya’. Seorang pemodal misalnya, memberikan
testimoni bahwa hanya dengan bermodalkan Rp 500 ribu, dalam waktu 3 bulan ia
mendapatkan hasil Rp.1,5 juta. Dengan iming-iming 150% tersebut, antara
November 2007 hingga 20 Februari 2009, KKM berhasil menjaring 72.000 nasabah
dengan nilai total simpanan Rp.700 milyar. Beruntung Bupati Karangasem, I Wayan
Geredeg cepat bertindak, dengan meminta kepolisian segera menutup bisnis
investasi ala KKM tersebut. Hasil penyitaan asset, hanya berhasil menyita asset
senilai Rp.321 milyar atau hanya separuh dari simpanan total nasabah Rp.700
milyar. Lebih dari Rp.400 milyar uang nasabah tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Sayangnya, tindakan Bupati Karangasem, justru ditentang
oleh para nasabah. Ironis sekali, mereka tidak merasa tertipu dan menganggap
Bupati Karangasem melakukan fitnah sehingga pengurus KKM ditangkap polisi.
Nasabah malah meminta pengurus KKM dibebaskan, agar dana mereka yang telah
disetorkan dapat dikembalikan.
kasus 3
Kasus Koperasi
KarangAsem Membangun
Kasus
4
BANDARLAMPUNG,
tiga pengurus Koperasi Al-Ikhlas Depag Bandarlampung diduga telah melakukan
penipuan dan penggelapan dengan modus mengajukan kredit pinjaman dana di Bank
CIMB Tanjungkarang lebih dari Rp10 miliar tahun 2009-2010 dengan mencatut nama
anggota Koperasi Al-Ikhlas. Ketua Koperasi Al-Ikhlas Maulana Marsad membantah
telah terlibat dalam persekongkolan yang dilakukan oleh Duli dan Rohaya. Di
sisi lain, ia mengungkapkan bahwa pada saat ini Koperasi Al-Ikhlas masih
menunggak sekitar Rp11 miliar di Bank CIMB Tanjungkarang. ”Sejak tahun 2005
bekerjasama, koperasi sudah melakukan pembayaran sekitar Rp14 miliar, dan
sisanya yang belum terbayar hampir Rp11 miliar.”
Terkait
hal ini, jaksa menjerat para tersangka dengan Pasal 263 KUHP tentang Pemalsuan
Surat, 378 KUHP tentang Penipuan dan Pasal 372 tentang Penggelapan.
Kasus
5
Di
daerah BJI Bekasi Timur, terdapat Koperasi Simpan Pinjam. Berdasarkan
informasi, simpanan wajib yang harus dibayarkan setiap bulannya sebesar Rp.
5000. Dalam koperasi simpan pinjam ini apabila meminjam, bunga yang harus
dibayarkan sebesar 1,5 %. Menurut kesepakatan setiap akhir tahun anggota
koperasi akan mendapat bingkisan Hari Raya dari SHU masing-masing anggota. Yang
menjadi masalah di sini, bukan hanya anggota koperasi saja yang mendapat
bingkisan dari SHU masing-masing, namun semua warga lingkungan RT
mendapatkannya termasuk yang bukan anggota koperasi. Dengan kata lain SHU
anggota dibagi sama rata dengan warga masyarakat RT, tidak berdasarkan besarnya
masing-masing SHU anggota.
Kasus
6
Koperasi
yang berdiri tanggal 17 Desember 1998 di Manggar Balikpapan (Kaltim Post 15
Agustus 2010) benar-benar bikin heboh. Kasusnya terkait penerimaan dana
bergulir APBN 2004 sebesar Rp1,35 miliar dari Pos Kementerian Negara Koperasi
dan UKM. Dana bergulir itu bukan bergulir ke anggota, tapi jatuhnya bergulir ke
kantong pribadi ketuanya, Dwi Setio. Kini sang ketua kabur dan jadi buron. Yang
mengejutkan, ternyata Koperasi Hidup Baru itu sudah vakum setahun sebelum
pencairan bantuan. Kelayakan sebagai penerima dana bergulir inilah yang menjadi
temuan Kejati dan masuk ranah hukum.
Kasus
7
Koperasi
Sembilan Sejati di Semarang Sejak berdiri 3 tahun berhasil menghimpun dana
masyarakat sebesar Rp 200 miliar. Namun saat ini sedang mengalami kerugian.
Pengurus koperasi, Hendrawan (Ketua 1 Koperasi SS) melepaskan diri dari
tanggung jawab. Laporan tersebut diketahui dari salah satu pengurus yang
menganggap dirinya tidak ikut serta dalam terjadinya kerugian tersebut.
sehingga hanya Hendrawanlah yang menjadi tersangka. Koperasi tersebut telah
diduga menghancurkan pinjaman tanpa prosedur senilai miliaran rupiah serta
menerbitkan surat simpanan berjangka dengan total hampir Rp 100 miliar.
Hendrawan diduga memberikan pinjaman kepada seorang pengusaha bernama Wijaya di
luar prosedur. Akibat perbuatan tersebut, koperasi yang memiliki kantor di
Semarang, Juwana, dan Solo itu rugi Rp 55 miliar.
Kasus
8
Kasus
Koperasi NPI Ditemukan 47.926 rekening nasabah, Macetnya dana masyarakat yang
dihimpun Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Nuansa Pelangi Indonesia (NPI)
Banjarnegara, mendapat perhatian Polres Banjarnegara. Untuk mengusut itu,
Polres membentuk tim khusus. Hingga kemarin, tim menemukan 47.926 rekening
milik nasabah.Rekening tersebut meliputi deposito investasi berjangka, tabungan
menjelang hari raya (tamara) dan tabungan harian sigap. Kapolres Banjarnegara
AKBP Sutekad Muji Raharjo melalui Kasat Reskrim AKP A Sambodo kepada para
wartawan Senin, mengatakan, dari hasil pemeriksaan sementara terhadap Ketua
Koperasi NPI, Ahmad Hidayatulloh, koperasi tersebut menghimpun dana masyarakat
senilai Rp 20,469 miliar lebih. Diperoleh informasi, jumlah dana tersebut
diperoleh penyidik dari hardisk komputer yang disita sebagai barang bukti.
Sedangkan data jumlah kredit yang disalurkan, hingga kini masih dicari oleh
penyidik. Menurut Sambodo, kemungkinan jumlah.